MAKALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
adalah memanusiakan manusia muda. Jadi pendidikan tersebut dilakukan oleh
manusia (dewasa) dengan upaya yang sungguh-sungguh serta strategi dan siasat
yang tepat demi keberhasilan pendidikan tersebut. Pelaksanaan pendidikan
berlangsung dalam keluarga sebagai pendidikan informal, di sekolah sebagai
pendidikan formal dan di masyarakat sebagai pendidikan nonformal serta
berlangsung seumur hidup.
Penyelenggaraan
pendidikan, selain dilakukan oleh masyarakat sendiri, juga dilakukan oleh
pemerintah, atau sekurang-kurangnya mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Pendidikan yang mendapatkan bantuan dari pemerintah ini pada akhirnya terjadi
proses saling mempengaruhi. Dari satu sisi situasi pemerintahan dipengaruhi
oleh corak dari lulusan pendidikan, dan pada sisi lain pemerintah juga
mempengaruhi dunia pendidikan. Corak pendidikan, arah dan tujuannya selanjutnya
ditentukan oleh corak politik yang ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian,
campur tangan atau pengaruh pemerintah terhadap pendidikan ini cukup besar
dengan segala kebijakan yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga
negara.
Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Mengenai masalah pedidikan,
perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin
dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih
rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan
UU pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten.
Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud problematika pendidikan?
- Apa saja masalah pokok pendidikan di Indonesia?
- Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasinya?
- Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan?
Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui arti problematika pendidikan.
- Untuk mengetahui macam-macam masalah pokok pendidikan di Indonesia.
- Untuk mengetahui solusi dari masalah-masalah pendidikan di Indonesia.
- Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kebijakan
Sosial
Banyak definisi
tentang konsep kebijakan. Thomas Dye memberi batasan atas kebijakan sebagai “…apa
saja yang hendak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah.”[1]
Richard Hofferbert mendefinisikan sebagai “…produk-produk yang kelihatan dari
keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh-tokoh yang dapat
mengidentifikasikan diri dengan cita-cita masyarakat.”[2]
Banyak peneliti lain berpendapat bahwa tidak mungkin memberikan satu definisi
saja atas kebijakan. Mereka yakin bahwa perlu mendaftarkan berbagai elemen dan
pengertian-pengertian lain mengenai kebijakan, seperti tujuan-tujuan dan
implementasi program-program, atau pemikiran-pemikiran sebagai bermacam-macam
aspek keuntungan langsung dan tidak langsung serta biaya kebijakan.[3]
Agak berbeda
dengan definisi-definisi di atas, James Anderson mendefinisikan kebijakan
sebagai “suatu pola tingkah laku yang terarah kepada tujuan yang diikuti oleh
seseorang atau beberapa orang dalam menangani suatu masalah.”[4]
Pola tingkah laku yang terarah kepada tujuan berhubungan dengan kenyataan bahwa
kebijakan adalah sesuatu yang gelap dan abstrak yang mendorong kepada
keputusan-keputusan selanjutnya.
Dalam Ensiklopedi
Politika, kebijakan disebut dengan istilah “kebijaksanaan,” yang dalam
bahasa Inggris juga disebut dengan public policy, policy ataupun beleid.
Yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil
oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih
tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Pada umumnya, pihak yang
membuat kebijaksanaan tersebut sekaligus mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.[5]
Secara umum
terdapat empat faktor yang mempengaruhi kebijakan, yaitu lingkungan, persepsi
pembuat kebijakan mengenai lingkungan, aktivitas pemerintah perihal kebijakan,
dan aktivitas masyarakat perihal kebijakan.[6]
Pengertian lingkungan dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama,
lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan
faktor sosial, ekonomi, politik, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai, seperti
pola pengangguran, pola-pola partisipasi politik, dan urbanisasi. Kedua,
lingkungan di dalam pemerintah dalam arti struktural, seperti karakteristik
birokratis, dan personil berbagai departemen dan karakteristik berbagai komisi,
dan para anggota dalam badan perwakilan rakyat maupun dalam arti proses,
seperti karakteristik pembuatan keputusan di berbagai departemen dan badan
perwakilan rakyat.
Ketiga, lingkungan
khusus dari kebijakan tertentu. Suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kebijakan
yang dibuat sebelumnya. Ketiga jenis lingkungan ini secara sendiri atau
bersama-sama kemungkinan akan mempengaruhi proses dan isi kebijakan. Selain
itu, persepsi pembuat kebijakan yang akurat maupun yang tidak akurat atas
lingkungan-lingkungan itu, termasuk atas berbagai peristiwa dan kecenderungan
yang terjadi dalam pemerintahan maupun di luar pemerintah, juga ikut
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat karena elit akan bertindak atas
persepsi sendiri. Aktivitas pemerintah yang menyangkut kebijakan bersifat
saling mempengaruhi aktivitas masyarakat. Pemerintah berinteraksi dengan
masyarakat dalam konteks lingkungan tertentu untuk menyusun kebijakan umum. Apa
yang dilakukan pemerintah dalam bidang zakat turut ditentukan oleh apa yang
dilakukan masyarakat dalam bidang zakat.
Aktivitas
pemerintah yang menyangkut kebijakan meliputi dua hal. Pertama, sejumlah
aktivitas dan proses yang menghasilkan suatu rumusan kebijakan (pernyataan
mengenai tujuan yang hendak dicapai) yang menyangkut intern pemerintahan maupun
yang menyangkut masyarakat umum. Kedua, pelaksanaan kebijakan yang
mencakup upaya-upaya penyediaan sumberdaya bagi pelaksana kebijakan, membuat
peraturan, dan petunjuk pelaksanaan, menyusun rencana detail kegiatan,
pengorganisasian pelaksanaan, dan memberikan pelayanan dan kemanfaatan.
Di samping itu,
aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan juga mencakup dua hal. Pertama,
pemanfaatan kebijakan oleh masyarakat dalam arti siapa yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijakan dan siapa saja yang memetik manfaat dari kebijakan. Kedua,
hasil program atau kebijakan dalam arti apa dampak kebijaksanaan terhadap
masyarakat dan mengapa berdampak demikian.
Proses pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan dibagi menjadi empat tahap, yaitu politisasi suatu
permasalahan (penyusunan agenda), perumusan, dan pengesahan tujuan dan program,
pelaksaksanaan program, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.[7]
2. Problematika
Pendidikan
Problematika adalah berasal dari
akar kata bahasa Inggris “problem” artinya, soal, masalah atau teka-teki. Juga
berarti problematik, yaitu ketidak tentuan.
Tentang pendidikan banyak definisi
yang berbagai macam, namun secara umum ada yang mendefinisikan bahwa,
pendidikan adalah suatu hasil peradaban sebuah bangsa yang dikembangkan atas
dasar suatu pandangan hidup bangsa itu sendiri, sebagai suatu pengalaman yang
memberikan pengertian, pandangan, dan penyesuaian bagi seseorang yang
menyebabkan mereka berkembang. Definisi pendidikan secara lebih khusus ialah
suatu proses pertumbuhan di dalam mana seorang individu di bantu mengembangkan
daya-daya kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya. Sehingga dapat di
simpulkan disini bahwa pendidikan adalah, suatu usaha sadar dalam rangka
menanamkan daya-daya kemampuan, baik yang berhubungan dengan pengalaman
kognitif (daya pengetahuan), afektif (aspek sikap) maupun psikomotorik (aspek
ketrampilan) yang dimiliki oleh seorang individu.
Adapun yang dimaksud dengan
problematika pendidikan adalah, persoalan-persoalan atau
permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh dunia pendidikan, khususnya
Negara Indonesia.[8]
3. Masalah-Masalah
Pokok Pendidikan di Indonesia
Pembangunan pendidikan yang sudah
dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah memberikan hasil yang cukup
mengagumkan sehingga secara umum kualitas sumberdaya manusia Indonesia jauh
lebih baik. Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih
ketinggallan jauh, oleh karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan
agar bangsa kita tidak menjadi tamu terasing di Negri sendiri terutama
karena terjajah oleh budaya asing dan terpaksa menari diatas irama gendang
irang lain.
Upaya untuk membangun sumber daya
manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan
berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal ini di sebabkan
dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup
mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah masalah
yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera
diatasi karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa
masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut.
- Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan.
- Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.
- Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan.
- Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebuh kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
- Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini. Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat. Masalah-masalah diatas erat kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geografis Indinesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan. Sistem dan dan tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu sistem pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.[9]
Sistem pendidikan menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem.
Pembanguana sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron
dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai
sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem
pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga
permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks.
Artinya suatu permasalahan intern
dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem
pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak
dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat
disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih
banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan
dengan mutu hasil belajar tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka
penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak
komponen dan melibatkan banyak pihak.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok
yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini, yaitui:
- Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
- Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah
pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi
pendidikan.[10]
Seperti telah dikemukakan diatas,
pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi
kesempatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah yang
dimaksud adalah:
- Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai
wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional
diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah
persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembanguana sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan pendidikan timbul
apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat
di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilita
pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No
4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab
XI pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara republik
Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika
syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah itu
dipenuhi.[11]
Selanjutnya dalam kaitannya dengan
wajib belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6
tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah,
sedikitnya 6 tahun “ ayat 2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan yuridis pemerataan
pendidika tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya
pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Masalah pemerataan memperoleh
pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh
kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan
kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik
mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat
tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu
menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan, maka setelah
upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan
mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan pada butir tentang masalah mutu
pendidikan.
Khusus pendidikan formal atau
pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki
fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan
pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif
dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus
menerus dengan saksama.
Pada jenjang pendidikan dasar,
kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas
pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di
berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama
pada jenjang pendidikan yang tinggi, kebijakan pemertaan didasarkan atas
pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak,
keperluan, tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan,
ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai keseimbangan antara faktor
minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang
seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya
yang dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan
langka.
Perkembangan upaya pemerataan
pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita. Didalam
Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional III tentang
hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga
Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal
7 mengenai hak telah di tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta
didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan
jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan
ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Perkembangan iptek menawarkan
beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan
kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa
jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan, melalui proses tatap muka sampai pada
lingkungan alam yang dapat mendung.[12]
- Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika
hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu
hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen
tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika
luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai
sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Lazimnya masih dilakukan
pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan
persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya
dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan pendidikan nasioanl dijadikan
kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari sistem pendidikan
menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang sosial yang
bertanggung jawab. Dengan kata lain keluaran ini mewujudkan diri sebagai
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya.
Kualitas luaran seperti tersebut adalah nurturant effect. Meskipun disadari
bahwa hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil
dari sistem pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan ialah bahwa cara
pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya hanya dengan
mengasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan EBTA atau hasil
sipenmaru.
Padahal hasil belajar yang bermutu
hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar
tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu.
Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah
semu. Berarti pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletah pada masalah
pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara pemprosesan pendidikan ditunjang
oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga kependidikan,
kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar.
Masalah mutu pendidikan juga
mencakup masalah pemerataan mutu, didalam Tap MPR RI tentang GBHN dinyatakan
bahwa titik berat pembanguan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap
jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
khususnya untuk memacu untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu
lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan
matematika. Umumnya pendidikan di seluruh tanah air pada umumnya menunjukkan
daerah pedesaan lebih rendah dari daerah perkotaan.[13]
- Masalah Efisiensi Pendidikan
Pada hakikatnya masalah efisiensi
adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan
sumber daya manusia.
Efesiensi artinya dengan menggunakan
tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil yang sebesar-besarnya.
Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan dana yang terbatas
dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas tinggi. Oleh sebab
itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak diantara semua unsur dan
unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta, pendidikan sekolah maupun luar
sekolah, antara lembaga dan unit jajaran depertemen pendidikan dan kebudayaan.
Para ahli banyak mengatakan bahwa
sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal ini tampak dari
banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat pelayanan
pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat pelayanan yang
semestinya bagi anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius.
Oleh karena itu, harus berusaha
untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi efisien.[14]
Masalah efisiensi pendidikan
mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn mendayagunakan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat
sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.
Beberapa masalah efisiensi
pendidikan yang penting adalah:
a) Bagaimana
tenaga kependidikan difungsikan
b) Bagaimana
prasarana dan sarana pendidikan digunakan
c) Bagaimana pendidikan
diselenggarakan
d) Masalah
efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga
kependidikan. Masalah pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga
yang tesedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun
terakhir ini jatah pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20 % dari
kebutuhan tenaga lapangan. Sedangkan persediaan tenaga siap di angkat lebih
bear daripada kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80%
tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang
terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar
kembali melalui pengabdian. Dan tenaga kependidikan khususnya guru tidak
disiapkan untk berwirausaha.
Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering
mengalami kepincanagn, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu
sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan
sudah kelebihan, sedang guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan
karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga di tempatkan didaerah
sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan
bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan
secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan
karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga
kerja yang tesedia didaerah terpencil.
Masalah pengembanagan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat,
khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan
kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat
dikatakan umumnya penanganan pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat
lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru
sangat memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan
berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung
kurang efisien dan efektif.[15]
- Masalah Relevansi Pendidikan
Maslah relevensi adalah masalah yang
timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan pembangunan nasional
setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam jangka
pendek, maupun dalam jangka panjang.
Pendidikan merupakan faktor
penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu, perlu
keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan
nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta
memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan
lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.[16]
Telah dijelaskan pada bagian
terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana
sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat
mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi,
sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem
pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik
yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan
oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi
seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan
kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang pekerjaan yang ada
antara lain sebagai berikut:
a) Status
lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b) Sistem
pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap
kembang.
c) Peta
kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai
pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak
tersedia.
Dari keempat
macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika
pendidikan:
a) Dapat
menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara yang
butuh pendidikan dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.
b) Dapat
mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan dapat
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
c) Dapat
terlaksana secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan
rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.
d) Produknya
yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendiidkan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan.[17]
Pada
dasarnya pembangunan dibidang pendidikan tentu menginginkan tercapainya
pemerataan pendidikan dan pendidikan yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor
yang dapat dikemukakan sebagai penyebab mengapa pendidikan yang bermutu belum
dapat diusahakan pada saat demikian, yaitu:
Pertama: gerakan
perluasan pendidikan untuk melayani pemerataan kesempatan pendidikan bagi
rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan pengerahan dana dan daya.
Kedua: kondisi
satuan-satuan pendidikan pada saat demikian mempersulit upaya peningkatan mutu
karena jumlah murid dalam kelas terlalu banyak, pengerahan tenaga pendidik yang
kurang kompeten, kurikulum yang belum mantap, sarana yang tidak memadai.
Meskipun
demikian pemerataan pendidiakn tidak dapat diabaikan karena upaya tersebut,
terutama pada saat suatu bangsa sedang memulai membangun mempunyai tujuan
ganda, yaitu disamping tujuan politis juga tujuan pembanguan yaitu memberikan
bekal dasar kepada warga Negara agar dapat menerima informasi dan memiliki
pengetahuan dasar untuk mengembangkan diri sehingga dapat perpatisipasi dalam
pembanguanan.
Dalam uraian
tersebut tampak bahwa masalah pemerataan berkaitan erat dengan masalah mutu
pendidikan.
Bertolak
dari gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena
kondisi pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, maka dengan sendirinya
pelaksanaan pendidikan dan khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak
efisien. Hasil pendidikan belum dapat diharapkan relevan dengan kebutuhan
masyarakat pembangunan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
4. Solusi
Pemecahan Problematika Pendidikan di Indonesia
- Solusi Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak macam pemecahan masalah
yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh
melalui cara konvesional dan cara inovatif.
Cara konvesional antara lain:
a) Membangun
gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b) Menggunakan
gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan
dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah
membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau
menyekolahkan anaknya.
Cara Inovatif antara lain:
Sistem
pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem,
sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a) SD kecil
pada daerah terpencil
b) Sistem guru
kunjung
c) SMP terbuka
d) Kejar paket
A dan b
e) Belajar
jarak jauh, seperti di universitas terbuka.[18]
- Solusi Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan
jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya
pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas komponen
pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada
gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan
pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.
Upaya pemecahan masalah masalah mutu
pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat sebagai fisik
dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a) Seleksi
yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan PT.
b) Pengembanagn
kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c) Penyempurnaaan
kurikulum
d) Pengembanagan
prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e) Penyempurnaan
sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f) Peniungkatan
adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g) Kegiatan
pengendalian mutu.[19]
5. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan pokok pendidikan
sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu
masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah
mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di
luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah
mikro pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah perkembangan
internasional, masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya,
serta masalah perkembangan regional. Masalah-masalah makro yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
- Perkembangan Iptek Dan Seni
a) Perkembangan
Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara
pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan
merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam
semesta , dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu
pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh hubungan
antara pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu teknologi baru yang
digunakan suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru
lantaran perubahan persyaratan kerj, dan mungkin juga penguraian jumlahtenaga
kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai
pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa mempengaruhi
perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan
pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti sarana
laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu juga membaw masalah
dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas
memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan.
Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam
sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan
aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka,
pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, perlindungan terhadap
profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi mengundang
masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti
membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang merasa ragu dan gusar
jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara memperkenalkan suatu
inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek
konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip) dan aspek struktur
operasional (teknik pelaksanaannya).
b) Perkembangan
Seni
Kesenian merupakan aktivitas
berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu
yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi
(mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam
menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya
manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat
mengisi pengembangan dominan afektif khususnya emosi yang positif dan
konstruktif serta keterampilan disamping domain kognitif yang sudah digarap
melalui program /bidang studi yang lain. Dilihat dari segi lapangan kerja,
dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan
pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.[20]
- Laju Pertumbuhan Penduduk.
Masalah kependudukan dan
kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
a) Pertambahan
Penduduk.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk
maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang
terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti beban pembangunan
nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang dibarengi
dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan
berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar
menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan
penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan
demikian terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk
sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan
fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan untuk lanjutan
keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua yang
jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non formal.
b) Penyebaran
Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh
pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama di
kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah pedalaman
khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau.
Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan
sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani
kebutuhan akan pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang
reguler. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.[21]
- Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini
aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi
terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya
ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap
memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga
sosial. Gejala yang timbul ialah membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah.
Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota , di samping pendidikan formal
mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal. Beberapa hal yang tidak
dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis dan
jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa perkelas
melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak , diadakannya
kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan pengurangan jam belajar,
kurang sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Keterbelakangan budaya
adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap
dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya . bagi
masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang
bernilai dan baik.[22]
- Keterbelakangan Budaya Dan Sarana Kehidupan.
Keterbelakangan budaya adalah
istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya
sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi masyarakat pendukung
budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik.
Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg,
tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang
berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan kebudayaan terjadi karena
ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri.
Kebudayaan baru itu baik bersifat material seoerti peralatan-peralatan
pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang bersifat non
matreial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya
menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya
terjadi karena:
a) Letak
geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b) Penolakan
masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami atau
karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c) Ketidakmampuan
masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab
terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a) Masyarakat
daerah terpencil.
b) Masyarakat
yang tidak mampu secara ekonomis.
c) Masyarakat
yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa
kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan serta dalam
pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti
permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana
cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat
melibatkan mereka. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat
terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam
pembangunan.[23]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Problematika pendidikan adalah,
persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh dunia
pendidikan, khususnya Negara Indonesia. Dunia pendidikan kita masih menghadapi
berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih
menghadapi sejumlah masalah yang sifatnya berantai sejak jenjang
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang
sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi karena sangat berpengaruh
terhadap pendidikan selanjutnya.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok
yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini, yaitui:
- Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
- Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah
pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi
pendidikan.
- Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah
persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembanguana sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih
banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung
dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilita pendidikan yang
tersedia.
- Masalah mutu pendidikan
Berarti pokok permasalahan mutu
pendidikan lebih terletak pada masalah pemprosesan pendidikan. Selanjutnya
kelancaran pemprosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang
terdiri dari peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana
pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar. Dan Masalah mutu pendidikan juga
mencakup masalah pemerataan mutu.
- Masalah Efisiensi Pendidikan
Pada hakikatnya masalah efisiensi
adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan
sumber daya manusia. Dan sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan
dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas
tinggi. Para ahli banyak mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih
kurang efisien. Masalah efisiensipendidikan mempersoalkan bagaimana suatu
sistem pendidikn mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan
pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya
tinggi. Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga
kependidikan.
- Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup
sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang
digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Alternatif solusinya:
1. .Solusi
Masalah Pemerataan Pendidikan
Dengan Cara konvesional antara lain:
a) Membangun
gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b) Menggunakan
gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
2. Solusi
Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Dengan Upaya pemecahan masalah
masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat
sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a) Seleksi
yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan PT.
b) Pengembanagn
kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c) Penyempurnaaan
kurikulum
d) Pengembanagan
prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e) Penyempurnaan
sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f) Peniungkatan
adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
Kegiatan pengendalian mutu.
Permasalahan pokok pendidikan
sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu
masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah
mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di
luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah
mikro pendidikan.
Masalah-maslah makro yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
- Perkembangan iptek dan seni.
- Laju pertumbuhan penduduk.
- Aspirasi masyarakat.
- Keterbelakang budaya dan sarana kehidupan.
[1]
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall, 1978), hlm. 3
[2]
Richard I. Hofferbert, The Study of Public Policy, (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1974), hlm.4
[3]
George C. Edward III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and
Implementing Public Policy, (San Fransisco: WH. Freeman & Co.
Publisher, 1978), hlm. 2
[4]
James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart &
Winston, 1979), hlm. 3
[5]
Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 170
[6]Randal B. Ripley, Policy Analysis in Political Science,
(Chicago: Nelson-Hal Publishers, 1985), hlm. 34-48
[7]
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm.
197-199
[8]
Mochtar Buchori. 1994. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia.
Yogyakarka: Tiara Wacana Yogya, hal 46-47
[9]
Eti Rochaety, dkk. 2006. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: PT
Bumi Aksara, hal 64-65
[10]
Umar Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta, hal 226
[11]
Ibid, hal 227-229
[13]
Umar Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hal 232-233
[14]
Zahara Idris dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan 2. Jakarta: PT
Grasindo, hal 60-61
[15]
Umar Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hal 234-235
[16]
Zahara Idris dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan 2. Jakarta: PT
Grasindo, hal 60
[17]
Umar Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hal 237-240
[18]
ibid 231
[19]
Ibid, 233-234
[20]
Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum. 1982. Pendidikan di Negara Sedang Berkembang.
Surabaya: Usaha Nasional, hal 191-192
[21]
Ibid, 192-193
[22]
Ibid, 193-194
[23]
Ibid, hal 194-195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar