Kamis, 13 Desember 2018

MODERENISASI DALAM ISLAM (mengapa ???)


MENGAPA MODERENISME DALAM ISLAM
A.    Pendahuluan
Islam sebagai sebuah agama dan apa yang menjadi perannya saat ini, sudah barang tentu memilki kaitan yang erat dengan masa lampaunya yang panjang. Dalam sejarahnya islam  memiliki peradaban yang maju dan makmur bahkan sempat menjadi kiblat peradaban dunia. Peradaban islam pernah mengalami puncak kejayannya pada masa Daulah Abbasiyah, hampir semua aspek kehidupan mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Saat itu perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi poros bagi kemajuan yang lain mengalami kemajuan yang luar biasa dengan terbentuknya madzhab-madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai hasil dari kebebasan berfikir , selain itu kemajuan ilmu pengetahuan juga ditandai dengan pendirian Bait al-Hikmnah sebagai pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan[1]
Sewaktu dunia Islam berada pada zaman keemasan dari abad VII sampai abad XIII, Eropah masih berada pada zaman kegelapan ( The Dark  Age).  Bangsa Eropa menyadari  bahwa mereka bukanlah bangsa yang lebih beradab daripada bangsa Timur ( Islam ). Hal ini mereka rasakan tatkala berkecamuknya Perang Salib ( 1095 – 1193 ).  Mereka  menyaksikan bahwa bangsa Arab Islam sudah memiliki ketinggian budaya seperti  pada jenis makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang,obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, pemerintahan, dan lain-lain. Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa bangsa Eropa menuntut ilmu pengetahuan dari peradaban Islam di Andalusia dan Sicilia seperti pada Universitas Cordova, Granada, Seville dan Toledo. Cordova sebagai kota terbesar dan ibukota Spanyol selain memiliki Universitas dan perpustakaan yang besar juga memiliki 27 buah sekolah gratis sehingga program wajib belajar di sana benar-benar terlaksana dan tidak ada satupun warganya yang buta aksara.[2]
 Kegiatan pembelajaran di kota-kota tersebut dibarengi  dengan kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa arab ke dalam bahasa latin. Diantara sarjana-sarjana Eropa yang berjasa  dalam melakukan kegiatan penerjemahan tersebut adalah : Faraj bin Salim, Dominicius Gundissalimus, Michael Scott, Geral Cremona dan lain-lain.[3] Kegiatan yang sebagian besar mendapat stimulasinya dari adanya berbagai kontak dengan dunia Islam itu ternyata melicinkan jalan bagi kebangkitan Eropa ( Renaissance ) pada abad XIV sampai XVI.
 Disaat Eropa memasuki zaman renaissance yang membawa kepada zaman modern, justru umat Islam mulai menurun dan mengalami zaman kemunduran walaupun pada abad yang sama masih pula berdiri dinasti-dinasti Islam di Andalusia, Turki Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India, tetapi dinasti-dinasti itu tidaklah begitu memperhatikan aspek peradaban yang ditopang oleh  ilmu pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan dan filsafat yang telah lama bertahta di pangkuan dunia Islam berpindah ke bumi Eropa barat dan memperoleh lahan subur di sana. Fenomena kemunduran peradaban Islam tersebut seolah menjadi bukti  kebenaran Firman Allah sebagai berikut : “Dan masa ( kejayaan dan kehancuran ) itu Kami pergilirkan diantara manusia (QS. Ali Imran:140)
Renaissance Eropa pada gilirannya telah mendorong terjadinya dua revolusi besar yaitu Revolusi Industri di Inggeris dengan implikasi material dan teknik serta Revolusi Perancis di Perancis dengan implikasi kemanusiaannya. Dua peristiwa yang amat menentukan dan menandai dimulainya abad modern itu terjadi pada pertengahan abad XVIII dan berjalan seiring di Eropa. Sejak terjadinya dua revolusi itu muncullah antusiasme Eropa untuk melakukan imperialisme dan kolonialisme khususnya terhadap dunia Islam.
B.     Pengertian Modern, Modernisasi dan Pembaharuan
Istilah  “modern” sebenarnya berasal dari bahasa latin “modo’ atau “modernus” berarti masa kini; yang kini ; mutakhir.[4] Begitupun dalam kosakata bahasa Indonesia modern diartikan : yang terbaru ; cara baru ; mutakhir.[5] Secara terminologi  modern didefenisikan sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[6] Oleh karena itu modernisasi dapat diartikan  sebagai proses  menjadi modern, terbaru, dan mutakhir atau juga proses  cara berpikir, bertindak dan bersikap sesuai dengan tuntutan zaman. Nurcholish Madjid merumuskan pengertian modernisasi identik atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi yaitu proses perombakan pola bepikir dan tata kerja lama yang tidak akliah ( rasional ) dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah.[7]
Kata  “pembaharuan” secara etimologis berasal dari kata “baharu” atau “baru” yang berarti proses membuat sesuatu yang lama menjadi baru. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa dalam konteks keislaman pembaharuan berarti  upaya intelektual Islam untuk menyegarkan dan memperbarui pengertian dan pemahaman umat Islam terhadap agamanya (dalam) berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.[8]
Zaman modern sebenarnya didorong oleh perkembangan filsafat Barat, yang memberikan fokus pada pembahasan humanitas, individualisme dan kebebasan. Hingga pada akhirnya arah kecenderungan ini membawa konsekwensi yang mengakibatkan keraguan-keraguan skiptis.Sebab yang lain dari modernisasi adalah semakin menguatnya industrialisasi. Sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang industrialisasi justru di sebabkan oleh
Modernisasi.[9]
Modernisasi secara implikatif, merupakan proses yang cenderung mengikis dan menghilangkan pola-pola lama dan kemudian memberinya status modern pada pola- pola yang baru.[10] Sementara aspek yang paling mencolok dari modernisasi adalah beralihnya teknik produksi dari tradisional ke teknik modern.[11]
Modernisasi dapat dimaknai meniru Barat, atau setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat. Hal ini memang fakta-faktanya tetap, yakni desain-desain dan peralatan yang dipakai dalam riset modernisasi adalah dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat dan terpengaruh oleh cara-cara berfikir Barat.[12] Namun unsur-unsur pengetahun modern yang mula-mula dari Barat dapat ditransfer, diadaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat, meniru yang berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah yang sering diistilah dengan westernisasi[13].
Nurcholis Madjid mengatakan satu hal yang pasti bahwa kita menerima modernisasi akan tetapi menolak westernisasi. Westernisme yang dimaksud adalah suat keseluruhan faham yang membentuk suatu totalitas way of lifedimana faktor yang paling menonjol adalah sekulerisme.[14]
C.    Pembaharuan Dalam Islam : Gagasan dan Gerakan
Pada dasarnya upaya-upaya dalam melakukan pembaharuan Islam dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek gagasan dan gerakan. Pada tataran gagasan, pembaharuan Islam sebenarnya sudah dimulai sebelum era modern.  Busthami Muhammad Sa’id mengutip Al-Suyuthi menyebutkan nama-nama seperti : Umar bin Abdul Aziz, Iman Asy-Syafii, Al-Asy’ari, Iman Al-Ghazali, Ar-Razi, Sirajuddin al-Baqillani dan Al-Suyuthi sendiri sebagai tokoh pembaharu Islam masa awal pra modern.  Bahkan starting point gagasan bahkan gerakan pembaharuan Islam pada esensinya sudah dilakukan  oleh Rasulullah Saw melalui ajaran Islam yang dibawanya sebagai koreksi atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan  uamt-umat sebelumnya.
Meskipun demikian secara legal-formal usaha-usaha pembaharuan secara signifikan atas umat Islam baru terjadi pada masa Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 ). Ibnu Taimiyah dianggap sebagai bapak  al-Tajdid atau reformis Islam yang melakukan kritik tajam tidak saja kearah sufisme dan para filosof yang mendewakan rasionalisme tetapi juga teologi Al-Asy’ari yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan cenderung totalistik. Kritik-kritik Ibnu Taimiyah itu secara fenomenal dibarengi dengan anjuran agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Gagasan-gagasan  pembaharuan  dalam Islam selanjutnya teraktualisasi dalam bentuk gerakan modern yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab atau populer disebut gerakan Wahabi yang muncul  pada awal abad ke 18. Dari segi waktu gerakan Wahabi belumlah tergolong gerakan pada abad modern dan latarbelakang munculnya pun bukan didasarkan atas respon terhadap kolonialisme melainkan sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang menyimpang dari ajaran Islam seperti bid’ah, takhyul dan khurafat, sehingga gerakan Wahabi ini dikategorikan gerakan  pemurnian  ( puritanisme ) ajaran Islam.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian modern adalah baru dan modernisasi juga berarti pembaruan atau lebih populer disebut pembaharuan. Dalam kaitan pengertian ini Harun Nasution mengatakan bahwa kosakata dalam bahasa arab yang berarti pembaharuan adalah“al-Tajdid” [15] Hasan Asari kemudian mengidentikkan antara kata al-Tajdid dengan Ishlah. Keduanya ( al-Tajdid dan Ishlah ) adalah konsep yang inheren dalam Islam sejak awal.[16] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah-istilah modernisasi, pembaharuan, al-Tajdid dan Ishlah adalah istilah-istilah yang identik. Dalam konteks pembahasan ini pemikiran modern dalam Islam dapat diartikan sebagai upaya-upaya untuk memperbarui pemahaman keislaman yang didasarkan atas sikap rasional berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan terbaru dan kekinian yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya yang menjadi sasaran  pembaharuan  adalah ajaran-ajaran, pemikiran, pemahaman maupun pengamalan agama yang merupakan hasil ijtihad para Ulama dan pemimpin-pemimpin agama yang kebenarannya relatif dengan landasan dalil-dalil yang zhanni pula. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah menjadi sasaran pembaruan karena keduanya bukanlah produk ijtihad.
D.    Islam Moderen
Islam Modern dalam hal pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku sesuai dengan tuntutan zaman. Ia selalu akan menyesuaikan dengan sesuatu model yang baru, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.[17] Kata modern erat kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaharuan atau tajdid dalam bahasa Arab.[18] Modernisasi dalam masyarakat barat adalah pikiran, aliran, gerakan atau usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[19]
Kata Tajdid atau pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada, diartikan dengan menjadikan baru lagi.[20] Tajdid dalam pemikiran berarti aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang terhadap aktifitas keIslaman, dengan mengoreksi hal-hal yang bersifat tidak sesuai dengan konteks baru.
Ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih dalam dari penjelasan makna Islam Modern di atas, yaitu :
a.       Apakah makna Modern sama dengan Tajdid (pembaharuan) karena dua kata atau istilah tersebut sering disandingkan oleh beberapa peneliti atau sejarawan.
b.      Apakah ada perbedaan asasi antara kedua istilah di atas? Sehingga tidak dapat disamakan.
c.       Jika tidak dapat disamakan, apakah dampak atau implikasi dari penyandingan dua istilah tersebut?
Istilah modern berasal dari tradisi barat (Kristen) yang ingin menjadikan sebuah paham akan kesesuaian agama dengan dunia baru, meski awalnya istilah modern adalah paham akan ilmu pengetahuan.[21] Paham inilah yang mengarahkan agama dan ajaran mereka kepada bentuk sekularisme.
Makna ini selintas mirip dengan arti Tajdid dalam Islam, hanya dalam pemahaman pembaharuan Islam, paham ini tidak dapat mengubah ajaran-ajaran yang bersifat mutlak (tak dapat dirubah). Tajdid hanya bertempat pada wilayah penafsiran atau interpretasi dari ajaran Islam, seperti aspek teologi, hukum, politik, ekonomi, dll.
Jika tidak dipahami secara mendasar tentang perbedaan Modern dan Tajdid, maka implikasi yang timbul adalah pengarahan ajaran Islam kepada paham sekulerisme. Hal ini telah terjadi saat ini dengan munculnya paham Liberalisme.
Penting untuk kembali menelisik asal-usul paham modern sehingga tidak terjebak kedalam pemahaman yang keliru. Keharusan terhadap pemikiran modern, mengharuskan sikap rasional yang kritis terhadap ajaran Islam, sangat mungkin rasio akan melebihi kadarnya dibandingkan dengan sumber nash itu sendiri jika tidak memahami perbedaan kedua istilah di atas.
E.     Latar Belakang Pemikiran Islam Modern
Melihat periodisasi sejarah umat Islam, gerakan modern ini dimulai pada abad ke 18, yaitu ketika peradaban barat mulai menemukan dan mengembangkan paham rasionalismenya ke peradaban lain. Meskipun dalam sejarahnya, peradaban Islamlah yang menginspirasi barat dalam menemukan kejayaannya.
Pemikiran Islam modern muncul atau respon dari keterbelakangan umat Islam di berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik dan hal-
hal lainnya.  Paling tidak ada lima macam kemunduran dan keterbelakangan umat Islam yang menyebabkan munculnya gerakan pemikiran Islam modern:[22]
a.       Kemunduran umat Islam karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar. Ini terlihat dari munculnya gerakan fatalisme dalam qada’ dan qadar.
b.      Sebab politis, yaitu pertentangan dan persaingan serta perpecahan dalam sistem kepemimpinan yang absolut.
c.       Lemahnya persaudaraan dalam umat Islam.
d.      Pemahaman yang jumud (statis, membeku) yang tetap mempertahankan tradisi.
e.       Masuknya berbagai macam bid’ah, paham animistis yang dibawa oleh orang non-Arab ke dalam Islam.
Persoalan kepemimpinan (khilafah) dalam Islam, tercatat dalam sejarah merupakan hal yang selalu membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Pergantian khilafah dari beberapa khilafah Islam, selalu diwarnai dengan peperangan yang disebabkan keteguhan masing-masing pihak tentang makna khilafah dan keabsolutannya.
F.     Pemikiran Islam Modern di Indonesia
Ciri utama pemikiran Islam modern adalah selalu dan pasti cenderung atau membawa pemikiran dan kehidupan umat Islam kepada harmoni kehidupan saat ini.[23]
Pemikiran modern di Indonesia telah terlihat pada akhir abad ke-19, ketika generasi ulama Indonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang dikenal dengan Ashhab Al-Jawiyyin, menyadari bahwa metode dan tatanan berfikir (mindset) tradisional dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern.[24] Dari pengaruh Arab ini kemudian menjadikan beberapa perubahan aktifitas keIslaman di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan. Genealogi intelektual di Indonesia terbagi menjadi tiga,
pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif”. Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.
Jika dikatakan bahwa Islam modern di Indonesia direpresentasikan oleh Muhammadiyah, sebagai reaksi dari kelompok Indigenized Islam dan kelompok tradisonal, ternyata tidak berhenti pada tiga kelompok ini saja. Masih ada kelompok Islamisme, yang mengusung konsep ‘Arabisme’ dalam pemikirannya dan kelompok Neo-Modernisme yang mengusung ide-ide liberalisme dalam isu-isu pemikirannya. Fenomena ini membagi kelompok Islam modern di Indonesia kepada dua tipe :
a.       Modernis yang mengakomodir ide modernisasi Barat dengan mengadopsi metode berfikirnya.
b.      Modernis yang menolak metode berfikir Barat, meskipun tidak menolak produknya.
Jika dahulu, gerakan modern selalu ‘berkonflik’ dengan kelompok tradisional, saat ini peta dinamika pemikiran modern mulai berubah. Konflik pemikiran yang diusung kelompok modern dahulu tentang puritanisme, menjadi ide besar yang diusung oleh kelompok Islamisme baru yang berkiblat kepada ‘Arabisme’.
Modernisme sendiri merupakan akibat dari perubahan-perubahan tertentu dalam ciri khas pemikiran keagamaan; dan banyak di antara alasan-alasan yang mendukung maupun menentangnya terkait secara sadar atau tidak dengan prinsip-prinsip pertama yang melandasi struktur keimanan dan peribadatan umat Islam.[25] Modernisme dalam kazanah Barat mengandung makna pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk di sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan.[26]

G.    KESIMPULAN
Islam memandang modernitas sebagai sebuah diskursus wacana pemikiran yang menarik dan mampu membangkitkan birahi intelektual untuk didiskusikan. Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional. Walhasil, islam dan modernisasi adalah dua hal yang harus terus berjalan saling berkesinambungan.
Pemikiran Modern atau Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam merupakan kajian yang sangat menarik bukan saja karena aspek historisnya yang menantang para pengkaji untuk menelusurinya dengan cermat tetapi juga aspek substansinya yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi pemikiran-pemikiran kontemporer.
Pemikiran modern sebagaimana telah di paparkan pengertiannya pada bagian terdahulu yakni upaya-upaya untuk memperbarui pemahaman keislaman  sebagai hasil ijtihad para Ulama dan barangkali juga pemimpim-pemimpin muslim yang bersifat relatif untuk selalu disesuaikan dengan perkembangan terbaru yang terus berubah didasarkan atas sikap rasional berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Paradigma inilah yang dapat menjadi sumber inspirasi itu

Daftar Pustaka
1.      Latiful Khuluq, Sejarah peradaban islam dari masa klasik hingga modern, Yogyakarta : Penerbit LESFI, 2009
2.      Ahmad Amin, Zuhr al-Islam III  ( Beirut : Dar  al-Kitab al-Arabi, 1953 ),
3.      Harun Nasution, “Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi ( Jakarta : Pelita, 1985 ),
4.      Lihat David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary of The American Language ( New York : Warner Books, 1987 )
5.      W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka     1982 )
6.      Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet.3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2005 )
7.      Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung : Mizan, 1989 )
8.      Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah ( Bandung : Pustaka, 1985 )
9.      Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993)
10.  Djuritno Adi Imam Muhni, Modernisasi Dan Westerenisasi Dan Tanggung Jawab Etis, dalam Slamet Sutrisno , Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, (Yogyakarta:Lebirti 1986)
11.  Laurence Stokcman, Sosiologi Modernisasi
12.  Koentjara Ningrat, Apakah Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan etalitas Dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia, 1987)
13.  Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan  ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985 )
14.  Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Bandung : Ciptapustaka Media, 2007)
15.  Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001
16.  Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997
17.  M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995
18.  Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT
19.  Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005
20.  H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996)




[1] Latiful Khuluq, Sejarah peradaban islam dari masa klasik hingga modern, Yogyakarta : Penerbit LESFI, 2009, hlm. 97
[2] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam III  ( Beirut : Dar  al-Kitab al-Arabi, 1953 ), hal. 22-23.
[3] Harun Nasution, “Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi ( Jakarta : Pelita, 1985 ), h. 282.
[4]. Lihat David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary of The American Language ( New York : Warner Books, 1987 ), hal. 387.
[5]. W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka     1982 ), hal. 653. 
[6]. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet.3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2005 ), hal. 751.
[7]. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung : Mizan, 1989 ), hal. 172.
[8]. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah ( Bandung : Pustaka, 1985 ), hal. 96.
[9] Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993), hal.39
[10] Ibid.hal.40
[11] Djuritno Adi Imam Muhni, Modernisasi Dan Westerenisasi Dan Tanggung Jawab Etis, dalam Slamet Sutrisno , Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, (Yogyakarta:Lebirti 1986),hal. 4
[12] Laurence Stokcman, Sosiologi Modernisasi,hal .272
[13] Koentjara Ningrat, Apakah Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan etalitas Dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 140-142
[14] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan Dan ke Indonesiaan, (Bandung: Mizan 1993), hal.18

[15]. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan  ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985 ), hal. 12.
[16]. Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Bandung : Ciptapustaka Media, 2007 ), hal. 34.
[17] Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 155.
[18] ibid
[19] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan bintang, 1975, hal. 9.
[20] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hal. 173.
[21] M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, hal. 2.
[22] Abudin Nata, Ibid, hal. 158-163.
[23] Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT, hal. 153.
[24] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005, hal. 108.
[25] H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996),hal 3

[26] Harun Nasution, Perubahan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hal11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar