MENGAPA
MODERENISME DALAM ISLAM
Islam sebagai sebuah agama dan apa
yang menjadi perannya saat ini, sudah barang tentu memilki kaitan yang erat
dengan masa lampaunya yang panjang. Dalam sejarahnya islam memiliki peradaban yang maju dan makmur
bahkan sempat menjadi kiblat peradaban dunia. Peradaban islam pernah mengalami
puncak kejayannya pada masa Daulah Abbasiyah, hampir semua aspek kehidupan
mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Saat itu perkembangan ilmu
pengetahuan yang menjadi poros bagi kemajuan yang lain mengalami kemajuan yang
luar biasa dengan terbentuknya madzhab-madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sebagai hasil dari kebebasan berfikir , selain itu kemajuan ilmu pengetahuan
juga ditandai dengan pendirian Bait al-Hikmnah sebagai pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan[1]
Sewaktu dunia Islam berada pada
zaman keemasan dari abad VII sampai abad XIII, Eropah masih berada pada zaman
kegelapan ( The Dark Age). Bangsa Eropa menyadari bahwa mereka bukanlah bangsa yang lebih
beradab daripada bangsa Timur ( Islam ). Hal ini mereka rasakan tatkala
berkecamuknya Perang Salib ( 1095 – 1193 ).
Mereka menyaksikan bahwa bangsa
Arab Islam sudah memiliki ketinggian budaya seperti pada jenis makanan, pakaian, alat-alat rumah
tangga, musik, alat-alat perang,obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian,
irigasi, pemerintahan, dan lain-lain. Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah
bahwa bangsa Eropa menuntut ilmu pengetahuan dari peradaban Islam di Andalusia
dan Sicilia seperti pada Universitas
Cordova, Granada, Seville dan Toledo. Cordova sebagai kota terbesar dan
ibukota Spanyol selain memiliki Universitas dan perpustakaan yang besar juga
memiliki 27 buah sekolah gratis sehingga program wajib belajar di sana
benar-benar terlaksana dan tidak ada satupun warganya yang buta aksara.[2]
Kegiatan pembelajaran di kota-kota tersebut
dibarengi dengan kegiatan penerjemahan
buku-buku berbahasa arab ke dalam bahasa latin. Diantara sarjana-sarjana Eropa
yang berjasa dalam melakukan kegiatan
penerjemahan tersebut adalah : Faraj bin
Salim, Dominicius Gundissalimus, Michael Scott, Geral Cremona dan
lain-lain.[3] Kegiatan yang
sebagian besar mendapat stimulasinya dari adanya berbagai kontak dengan dunia
Islam itu ternyata melicinkan jalan bagi kebangkitan
Eropa ( Renaissance ) pada abad XIV sampai XVI.
Disaat Eropa memasuki zaman renaissance yang
membawa kepada zaman modern, justru umat Islam mulai menurun dan mengalami
zaman kemunduran walaupun pada abad yang sama masih pula berdiri
dinasti-dinasti Islam di Andalusia, Turki Usmani di Turki, Safawi di Persia dan
Mughal di India, tetapi dinasti-dinasti itu tidaklah begitu memperhatikan aspek
peradaban yang ditopang oleh ilmu
pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan dan filsafat yang telah lama bertahta di
pangkuan dunia Islam berpindah ke bumi Eropa barat dan memperoleh lahan subur
di sana. Fenomena kemunduran peradaban Islam tersebut seolah menjadi bukti kebenaran Firman Allah sebagai berikut : “Dan
masa ( kejayaan dan kehancuran ) itu Kami pergilirkan diantara manusia”
(QS. Ali Imran:140)
Renaissance Eropa pada gilirannya
telah mendorong terjadinya dua revolusi besar yaitu Revolusi Industri di Inggeris dengan implikasi material dan teknik
serta Revolusi Perancis di Perancis
dengan implikasi kemanusiaannya. Dua peristiwa yang amat menentukan dan
menandai dimulainya abad modern itu terjadi pada pertengahan abad XVIII dan
berjalan seiring di Eropa. Sejak terjadinya dua revolusi itu muncullah
antusiasme Eropa untuk melakukan imperialisme dan kolonialisme khususnya
terhadap dunia Islam.
B. Pengertian Modern, Modernisasi dan
Pembaharuan
Istilah “modern” sebenarnya berasal dari bahasa latin
“modo’ atau “modernus” berarti masa kini; yang kini ; mutakhir.[4] Begitupun dalam kosakata bahasa Indonesia
modern diartikan : yang terbaru ; cara baru ; mutakhir.[5]
Secara terminologi modern didefenisikan sebagai sikap dan
cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[6]
Oleh karena itu modernisasi dapat diartikan
sebagai proses menjadi modern,
terbaru, dan mutakhir atau juga proses
cara berpikir, bertindak dan bersikap sesuai dengan tuntutan zaman.
Nurcholish Madjid merumuskan pengertian modernisasi identik atau hampir identik
dengan pengertian rasionalisasi yaitu proses perombakan pola bepikir dan tata
kerja lama yang tidak akliah ( rasional ) dan menggantinya dengan pola berpikir
dan tata kerja baru yang akliah.[7]
Kata
“pembaharuan” secara etimologis berasal dari kata “baharu” atau “baru”
yang berarti proses membuat sesuatu yang lama menjadi baru. Ahmad Syafi’i
Ma’arif menyatakan bahwa dalam konteks keislaman pembaharuan berarti upaya intelektual Islam untuk menyegarkan dan
memperbarui pengertian dan pemahaman umat Islam terhadap agamanya (dalam)
berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.[8]
Zaman modern sebenarnya didorong
oleh perkembangan filsafat Barat, yang memberikan fokus pada pembahasan
humanitas, individualisme dan kebebasan. Hingga pada akhirnya arah
kecenderungan ini membawa konsekwensi yang mengakibatkan keraguan-keraguan
skiptis.Sebab yang lain dari modernisasi adalah semakin menguatnya
industrialisasi. Sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang
industrialisasi justru di sebabkan oleh
Modernisasi.[9]
Modernisasi
secara implikatif, merupakan proses yang cenderung mengikis dan menghilangkan
pola-pola lama dan kemudian memberinya status modern pada pola- pola yang baru.[10]
Sementara aspek yang paling mencolok dari modernisasi adalah beralihnya teknik
produksi dari tradisional ke teknik modern.[11]
Modernisasi
dapat dimaknai meniru Barat, atau setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat.
Hal ini memang fakta-faktanya tetap, yakni desain-desain dan peralatan yang
dipakai dalam riset modernisasi adalah dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat
dan terpengaruh oleh cara-cara berfikir Barat.[12] Namun
unsur-unsur pengetahun modern yang mula-mula dari Barat dapat ditransfer,
diadaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat, meniru yang berlebihan
misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah yang sering diistilah
dengan westernisasi[13].
Nurcholis
Madjid mengatakan satu hal yang pasti bahwa kita menerima modernisasi akan
tetapi menolak westernisasi. Westernisme yang dimaksud adalah suat keseluruhan
faham yang membentuk suatu totalitas way of lifedimana faktor yang paling menonjol
adalah sekulerisme.[14]
C. Pembaharuan Dalam Islam : Gagasan
dan Gerakan
Pada dasarnya upaya-upaya dalam
melakukan pembaharuan Islam dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek gagasan
dan gerakan. Pada tataran gagasan, pembaharuan Islam sebenarnya sudah dimulai
sebelum era modern. Busthami Muhammad
Sa’id mengutip Al-Suyuthi menyebutkan nama-nama seperti : Umar bin Abdul Aziz, Iman Asy-Syafii, Al-Asy’ari, Iman Al-Ghazali,
Ar-Razi, Sirajuddin al-Baqillani dan Al-Suyuthi sendiri sebagai tokoh
pembaharu Islam masa awal pra modern.
Bahkan starting point gagasan bahkan gerakan pembaharuan Islam pada
esensinya sudah dilakukan oleh
Rasulullah Saw melalui ajaran Islam yang dibawanya sebagai koreksi atas
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
uamt-umat sebelumnya.
Meskipun demikian secara
legal-formal usaha-usaha pembaharuan secara signifikan atas umat Islam baru
terjadi pada masa Ibnu Taimiyah (
1263-1328 ). Ibnu Taimiyah dianggap sebagai bapak al-Tajdid atau reformis Islam yang melakukan kritik tajam tidak saja kearah
sufisme dan para filosof yang mendewakan rasionalisme tetapi juga teologi
Al-Asy’ari yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan cenderung
totalistik. Kritik-kritik Ibnu Taimiyah itu secara fenomenal dibarengi dengan
anjuran agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta memahami
kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad dan pintu ijtihad tidak
tertutup.
Gagasan-gagasan pembaharuan
dalam Islam selanjutnya teraktualisasi dalam bentuk gerakan modern yang
dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
atau populer disebut gerakan Wahabi yang muncul
pada awal abad ke 18. Dari segi waktu gerakan Wahabi belumlah tergolong
gerakan pada abad modern dan latarbelakang munculnya pun bukan didasarkan atas
respon terhadap kolonialisme melainkan sebagai reaksi terhadap faham tauhid
yang menyimpang dari ajaran Islam seperti bid’ah, takhyul dan khurafat,
sehingga gerakan Wahabi ini dikategorikan gerakan pemurnian
( puritanisme ) ajaran Islam.
Dari
pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian modern adalah baru dan modernisasi juga
berarti pembaruan atau lebih populer disebut pembaharuan. Dalam kaitan
pengertian ini Harun Nasution mengatakan bahwa kosakata dalam bahasa arab yang
berarti pembaharuan adalah“al-Tajdid”
[15] Hasan Asari
kemudian mengidentikkan antara kata al-Tajdid
dengan Ishlah. Keduanya ( al-Tajdid dan Ishlah ) adalah konsep yang inheren
dalam Islam sejak awal.[16] Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa istilah-istilah modernisasi, pembaharuan, al-Tajdid dan
Ishlah adalah istilah-istilah yang identik. Dalam konteks pembahasan ini
pemikiran modern dalam Islam dapat diartikan sebagai upaya-upaya untuk
memperbarui pemahaman keislaman yang didasarkan atas sikap rasional berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan terbaru dan kekinian yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya yang menjadi
sasaran pembaharuan adalah ajaran-ajaran, pemikiran, pemahaman maupun
pengamalan agama yang merupakan hasil ijtihad para Ulama dan pemimpin-pemimpin
agama yang kebenarannya relatif dengan landasan dalil-dalil yang zhanni pula.
Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah menjadi sasaran pembaruan karena keduanya
bukanlah produk ijtihad.
D.
Islam
Moderen
Islam Modern dalam hal
pemikiran berarti corak pemikiran dalam Islam yang berlaku sesuai dengan
tuntutan zaman. Ia selalu akan menyesuaikan dengan sesuatu model yang baru,
berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap
pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan
oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.[17]
Kata modern erat kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaharuan atau
tajdid dalam bahasa Arab.[18]
Modernisasi dalam masyarakat barat adalah pikiran, aliran, gerakan atau usaha
untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan
sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[19]
Kata Tajdid atau
pembaharuan adalah proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk
dijadikan baru kembali. Tajdid berakar dari kata Jaddada, diartikan
dengan menjadikan baru lagi.[20]
Tajdid dalam pemikiran berarti aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi
ulang terhadap aktifitas keIslaman, dengan mengoreksi hal-hal yang
bersifat tidak sesuai dengan konteks baru.
Ada beberapa hal yang
dapat ditelaah lebih dalam dari penjelasan makna Islam Modern di atas, yaitu :
a.
Apakah makna Modern
sama dengan Tajdid (pembaharuan) karena dua kata atau istilah tersebut sering
disandingkan oleh beberapa peneliti atau sejarawan.
b.
Apakah ada perbedaan
asasi antara kedua istilah di atas? Sehingga tidak dapat disamakan.
c.
Jika tidak dapat
disamakan, apakah dampak atau implikasi dari penyandingan dua istilah tersebut?
Istilah modern berasal
dari tradisi barat (Kristen) yang ingin menjadikan sebuah paham akan kesesuaian
agama dengan dunia baru, meski awalnya istilah modern adalah paham akan ilmu
pengetahuan.[21] Paham inilah yang
mengarahkan agama dan ajaran mereka kepada bentuk sekularisme.
Makna ini selintas mirip
dengan arti Tajdid dalam Islam, hanya dalam pemahaman pembaharuan Islam, paham
ini tidak dapat mengubah ajaran-ajaran yang bersifat mutlak (tak dapat
dirubah). Tajdid hanya bertempat pada wilayah penafsiran atau interpretasi dari
ajaran Islam, seperti aspek teologi, hukum, politik, ekonomi, dll.
Jika tidak dipahami
secara mendasar tentang perbedaan Modern dan Tajdid, maka implikasi yang timbul
adalah pengarahan ajaran Islam kepada paham sekulerisme. Hal ini telah terjadi
saat ini dengan munculnya paham Liberalisme.
Penting untuk kembali
menelisik asal-usul paham modern sehingga tidak terjebak kedalam pemahaman yang
keliru. Keharusan terhadap pemikiran modern, mengharuskan sikap rasional yang
kritis terhadap ajaran Islam, sangat mungkin rasio akan melebihi kadarnya
dibandingkan dengan sumber nash itu sendiri jika tidak memahami perbedaan kedua
istilah di atas.
E.
Latar Belakang Pemikiran Islam Modern
Melihat periodisasi
sejarah umat Islam, gerakan modern ini dimulai pada abad ke 18, yaitu ketika
peradaban barat mulai menemukan dan mengembangkan paham rasionalismenya ke
peradaban lain. Meskipun dalam sejarahnya, peradaban Islamlah yang
menginspirasi barat dalam menemukan kejayaannya.
Pemikiran Islam modern
muncul atau respon dari keterbelakangan umat Islam di berbagai bidang, ekonomi,
pendidikan, ilmu pengetahuan, politik dan hal-
hal lainnya. Paling tidak
ada lima macam kemunduran dan keterbelakangan umat Islam yang menyebabkan
munculnya gerakan pemikiran Islam modern:[22]
a.
Kemunduran umat Islam
karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti
ajaran-ajaran yang datang dari luar. Ini terlihat dari munculnya gerakan
fatalisme dalam qada’ dan qadar.
b.
Sebab politis, yaitu
pertentangan dan persaingan serta perpecahan dalam sistem kepemimpinan yang
absolut.
c.
Lemahnya persaudaraan
dalam umat Islam.
d.
Pemahaman yang jumud
(statis, membeku) yang tetap mempertahankan tradisi.
e.
Masuknya berbagai macam
bid’ah, paham animistis yang dibawa oleh orang non-Arab ke dalam Islam.
Persoalan kepemimpinan
(khilafah) dalam Islam, tercatat dalam sejarah merupakan hal yang selalu
membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Pergantian khilafah dari
beberapa khilafah Islam, selalu diwarnai dengan peperangan yang disebabkan
keteguhan masing-masing pihak tentang makna khilafah dan keabsolutannya.
F.
Pemikiran Islam Modern di Indonesia
Ciri utama pemikiran Islam modern adalah selalu dan pasti cenderung atau
membawa pemikiran dan kehidupan umat Islam kepada harmoni kehidupan saat ini.[23]
Pemikiran modern di Indonesia telah terlihat pada akhir abad ke-19, ketika
generasi ulama Indonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang
dikenal dengan Ashhab Al-Jawiyyin, menyadari bahwa metode dan tatanan
berfikir (mindset) tradisional dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi
tantangan kolonialisme dan peradaban modern.[24]
Dari pengaruh Arab ini kemudian menjadikan beberapa perubahan aktifitas
keIslaman di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan. Genealogi intelektual
di Indonesia terbagi menjadi tiga,
pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat
itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah
mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili
oleh kaum tradisionalis-konservatif”. Ketiga, mereka yang berhaluan
pembaharuan atau modernisme Islam.
Jika dikatakan bahwa Islam modern di Indonesia direpresentasikan oleh
Muhammadiyah, sebagai reaksi dari kelompok Indigenized Islam dan kelompok
tradisonal, ternyata tidak berhenti pada tiga kelompok ini saja. Masih ada
kelompok Islamisme, yang mengusung konsep ‘Arabisme’ dalam pemikirannya dan
kelompok Neo-Modernisme yang mengusung ide-ide liberalisme dalam isu-isu
pemikirannya. Fenomena ini membagi kelompok Islam modern di Indonesia kepada
dua tipe :
a.
Modernis yang
mengakomodir ide modernisasi Barat dengan mengadopsi metode berfikirnya.
b.
Modernis yang menolak
metode berfikir Barat, meskipun tidak menolak produknya.
Jika dahulu, gerakan
modern selalu ‘berkonflik’ dengan kelompok tradisional, saat ini peta dinamika
pemikiran modern mulai berubah. Konflik pemikiran yang diusung kelompok modern
dahulu tentang puritanisme, menjadi ide besar yang diusung oleh kelompok
Islamisme baru yang berkiblat kepada ‘Arabisme’.
Modernisme sendiri merupakan akibat
dari perubahan-perubahan tertentu dalam ciri khas pemikiran keagamaan; dan
banyak di antara alasan-alasan yang mendukung maupun menentangnya terkait
secara sadar atau tidak dengan prinsip-prinsip pertama yang melandasi struktur
keimanan dan peribadatan umat Islam.[25]
Modernisme dalam kazanah Barat mengandung makna pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan
sebagainya untuk di sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan.[26]
G. KESIMPULAN
Islam memandang modernitas sebagai
sebuah diskursus wacana pemikiran yang menarik dan mampu membangkitkan birahi
intelektual untuk didiskusikan. Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang
berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan.
Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan
oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan
segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos
tradisional. Walhasil, islam dan modernisasi
adalah dua hal yang harus terus berjalan saling berkesinambungan.
Pemikiran Modern atau Pemikiran
Pembaharuan Dalam Islam merupakan kajian yang sangat menarik bukan saja karena
aspek historisnya yang menantang para pengkaji untuk menelusurinya dengan
cermat tetapi juga aspek substansinya yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi
pemikiran-pemikiran kontemporer.
Pemikiran modern sebagaimana telah
di paparkan pengertiannya pada bagian terdahulu yakni upaya-upaya untuk
memperbarui pemahaman keislaman sebagai
hasil ijtihad para Ulama dan barangkali juga pemimpim-pemimpin muslim yang
bersifat relatif untuk selalu disesuaikan dengan perkembangan terbaru yang
terus berubah didasarkan atas sikap rasional berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Paradigma inilah yang dapat menjadi sumber inspirasi itu
Daftar
Pustaka
1.
Latiful Khuluq, Sejarah peradaban
islam dari masa klasik hingga modern, Yogyakarta : Penerbit LESFI, 2009
2.
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam III ( Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1953 ),
3.
Harun Nasution,
“Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri
Ananda (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi
( Jakarta : Pelita, 1985 ),
4.
Lihat David B.
Guralnik, Webster’s New World Dictionary
of The American Language ( New York : Warner Books, 1987 )
5.
W.J.S.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka
1982 )
6.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi 3, Cet.3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2005 )
7.
Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan ( Bandung : Mizan, 1989 )
8.
Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan
Limbo Sejarah ( Bandung : Pustaka, 1985 )
9.
Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993)
10. Djuritno Adi
Imam Muhni, Modernisasi Dan Westerenisasi Dan Tanggung Jawab Etis, dalam
Slamet Sutrisno , Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, (Yogyakarta:Lebirti
1986)
11. Laurence
Stokcman, Sosiologi Modernisasi
12. Koentjara
Ningrat, Apakah Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan
etalitas Dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia, 1987)
13. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985 )
14. Hasan
Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan
dan Gerakan ( Bandung : Ciptapustaka Media, 2007)
15. Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2001
16. Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya,
Pustaka Progressif, 1997
17. M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan
Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat
Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995
18. Samuel Graham Wilson, Modern Movements Among Moslems, New York,
Fleming Company, TT
19. Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung, Mizan Media Utama, 2005
20. H.A.R.Gibb, Aliran-Aliran
Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996)
[1] Latiful Khuluq, Sejarah peradaban
islam dari masa klasik hingga modern, Yogyakarta : Penerbit LESFI, 2009, hlm.
97
[3] Harun Nasution, “Agama Yang
Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri Ananda (Peny.),
70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi (
Jakarta : Pelita, 1985 ), h. 282.
[4]. Lihat David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary of The
American Language ( New York : Warner Books, 1987 ), hal. 387.
[6]. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3,
Cet.3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2005 ), hal. 751.
[7]. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (
Bandung : Mizan, 1989 ), hal. 172.
[8]. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah
( Bandung : Pustaka, 1985 ), hal. 96.
[10]
Ibid.hal.40
[11] Djuritno Adi Imam Muhni, Modernisasi Dan Westerenisasi Dan Tanggung
Jawab Etis, dalam Slamet Sutrisno , Tugas Filsafat Dalam Perkembangan
Budaya, (Yogyakarta:Lebirti 1986),hal. 4
[13] Koentjara Ningrat, Apakah
Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan etalitas Dan
Pembangunan. (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 140-142
[15]. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985 ), hal. 12.
[16]. Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Bandung :
Ciptapustaka Media, 2007 ), hal. 34.
[17]
Abudin Nata, Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2001, hal. 155.
[18]
ibid
[19]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan bintang, 1975,
hal. 9.
[20] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab
Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hal. 173.
[21] M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat
Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar
Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, hal.
2.
[22]
Abudin Nata, Ibid, hal.
158-163.
[23]
Samuel Graham Wilson, Modern
Movements Among Moslems, New York, Fleming Company, TT, hal. 153.
[24]
Yudi Latif, Inteligensia
Muslim dan Kuasa : Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung,
Mizan Media Utama, 2005, hal. 108.
Bintang, 1986),
hal11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar