Kamis, 13 Desember 2018

FIQIH MANDI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Ibadah

MANDI




Disusun Oleh:
Kelompok XI
1.      Dwi Astuti                              (1801031005)
2.      Risma Fatmawati                    (1801030021)
3.      Siti Nurjannah                         (1801032013)
4.      Rantika Melia Sary                 (1801030016)



FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
KELAS A SEMESTER I


INSTITUT AGAMA ISALAM NEGERI METRO
TAHUN AKADEMIK 2018M/1440H
 





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pembahasan mengenai mandi tidak dipisahkan dengan pembahasan wudhu, keduanya berada dalam lingkupan yang sama, yaitu bersuci (thaharah). Mandi yang dimaksud bukan mandi sebagaiman yang kita lakukan setiap hari, pagi dan sore, tetapi mandi yang dituntun oleh aturan syari’at Islam. Oleh karena itu, biasanya dikenal dengan “mandi besar”. Mandi besar ini dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau lebih dikenal dengan rukun mandi besar. Banyak di kalangan masyarakat sekarang yang kurang menegtahui tentang tata cara mandi besar untuk menghilangkan hadats besar. Mereka kurang mempedulikan rukun-rukun yang ada.
Mandi besar merupakan cara bersuci dari hadats agar dapat melakukan suatu ibadah lagi, seperti shalat, puasa, dan amalan ibadah yang lain dengan demikian, di sini akan disampaikan apa definisi dari mandi serta dasar hukumnya, rukun-rukun yang terkandung dalam mandi besar dan hal-hal yang mewajibkan untuk mandi besar.
Semoga dalam penyampaian materi tentang mandi besar ini memberikan manfaat pada kita agar berhati-hati dalam urusan hadats, serta membiasakan hidup bersih. Di sisi lain kita juga dituntut untuk mengerti dan mampu mempraktekkannya.
B.       Rumusan Masalah
1.      Pengertian Dan Dasar Hukum Mandi
2.      Syarat-syarat Mandi
3.      Sebab-sebab Mandi
4.      Tatacara Mandi



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Mandi dan Dasar Hukum Mandi
Menurut bahasa, mandi berarti : mengalirkan air pada apa saja. Sedang menurut Syara’, artinya: mengalirkan air pada tubuh dengan niat tertentu. Mandi telah disyariatkan agama, baik untuk kebersihan maupun menghilngkan hadast, sebagai syarat suatu ibadah ataupun tidak. Mengenai disyariatkan mandi, hal itu ditunjukkan oleh Al-kitab (Al-quran), As-Sunnah dan ijma’.[1]
Mandi disyariatkan berdasarkan Firman Allah :[2]
….. 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 ….  
Artinya :
“…. dan jika kamu junub Maka mandilah….” (al-Maidah : 6)


Dan firman Allah SWT :
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢

Artinya : 
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (al-Baqarah : 222)



B.       Syarat-syarat Mandi
Syarat-syarat sahnya mandi - setelah kita mengetahui hal-hal yang mewajibkan mandi yang telah dibahas sebelumnya. Selanjutnya yang harus kita ketahui adalah syarat-syarat sahnya mandi, meski penting tapi jarang orang yang memperhatikan. Maka disini akan kita bahas secara tuntas dan gamblang tapi menurut kemampuan terbatas kami. Syarat sahnya mandi seperti halnya wudhu dan tayamum maka dari itu sangat penting untuk diketahui ilmunya. Langsung saja kita jabarkan apa saja yang termasuk didalamnya.
Dan berikut ini adalah Syarat-Syarat Sahnya Mandi :
1.      Islam.
2.      Tamyiz
Yaitu sekira seorang anak sudah bisa makan, minum dan istinja' (cebok) sendiri.
3.      Tidak ada penghalang sampainya (mengalirnya) air pada anggota yang dibasuh.
Yang dimaksud penghalang adalah benda-benda yang bisa mencegah sampainya air pada kulit, seperti cat kuku, tinta, lipstik, bedak, dan berbagai alat komestik lainnya yang terlalu tebal, sekira bila dikerok benda-benda tadi dapat terbawa atau terlepas (rontok). Jika pada anggota tubuh terdapat hal-hal seperti diatas, maka wajib dihilangkan. Termasuk penghalang yang harus dihilangkan adalah kotoran mata (Jawa: Belok/lodok), kotoran kuku, dan lain-lain. Kecuali bagi orang yang sangat kesulitan menghilangkan kotoran tersebut.
4.      Tidak ada sesuatu yang dapat merubah air.
Artinya anggota tubuh atau anggota wudhu yang akan dibasuh, harus bersih dari segala sesuatu yang dapat merubah sifat air. Semisal body lotion, bedak, sabun, shampo dan lain -lain. Sehingga jika pada anggota tubuh atau anggota wudhu terdapat hal-hal seperti diatas, maka basuhannya belum dianggap mencukupi  sebelum dibersihkan terlebih dahulu.
5.      Menghilangkan Najis.
Sebelum mandi atau wudhu terlebih dahulu wajib menghilangkan najis yang menempel pada tubuh.
6.      Menggunakan air suci mensucikan.
Air suci mensucikan adalah air yang tidak berubah salah satu sifatnya (bau, warna dan rasa) dengan perubahan yang mempengaruhi penamaan air (kemutlakan air). Seperti berubah menjadi air kopi, air  susu, air teh dan lain-lain. Juga belum pernah digunakan untuk bersuci serta tidak terkena najis. Dari sini dapat disimpulkan bahwa air suci mensucikan adalah air yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Tidak terkena najis, baik berubah atau tidak.
Hal ini bila air tersebut kurang dari 2 kulah (174 liter/Cm3). Bila ada 2 kulah atau lebih maka sekalipun terkena najis tetap dapat digunakan untuk bersuci selagi air tidak berubah.
b.      Tidak tercampur benda suci yang merubah salah satu sifatnya.
Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang mukholith (yaitu sesuatu yang sulit untuk dibedakan dan tidak bisa dipisahkan sendiri dari air) dan tidak lazim ada pada air serta mampu mempengaruhi nama air. Seperti berubah menjadi air kopi, air susu, air teh atau yang lainnya. Jika perubahan tersebut disebabkan oleh sesuatu yang mujawir (yaitu sesuatu yang mudah untuk dibedakan dan bisa dipisahkan sendiri dari air seperti kayu) atau sesuatu yang selalu ada pada air seperti lumut, maka prubahan tersebut tidak berpengaruh pada air. Namun bila ada sesuatu yang terlepas (rontok) dari sesuatu yang mujawir yang sulit untuk dibedakan atau dipisahkan dari air, maka hukumnya sama dengan sesuatu yang mukholith.
c.       Tidak musta'mal
Yaitu air kurang dari 2 kulah yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. Air bisa dihukumi musta'mal bila memenuhi syarat sebagai berikut:
- Airnya kurang 2 kulah.
- Digunakan pada kefardhuan thoharoh (basuhan yang wajib).
- Sudah terpisah dari anggota badan.
- Tidak ada niat untuk mengambil wudhu.
7.      Masuk waktu sholat bagi orang yang daimul hadats.
Da'imul hadats adalah orang yang hadatsnya terus-menerus keluar. Seperti orang yang beser, istihadhah dan lain-lain. Maka dari itu tidak sah mandi atau wudhunya orang yang dai'mul hadats sebelum masuk waktu sholat.


8.      Tidak ada hal-hal yang menafikan.
Artinya ketika sedang menghilangkan hadats, tidak terjadi hal-hal yang membatalkan thoharoh yang dilakukan. Seperti keluar darah nifas/haid ketika sedang mandi. Atau buang air kecil, berak ketika sedang wudhu. Jika terjadi hal-hal diatas ketika sedang wudhu atau mandi, maka tidak sah dan harus mengulangi dari awal.
9.      Mengetahui tatacara bersuci.
Yaitu harus mengetahui tata cara menghilangkan hadats besar atau kecil. Dan harus mampu membedakan mana yang rukun dan mana yang sunnah. Hal ini diperuntukkan bagi setiap orang yang mampu mempelajari tata cara menghilangkan hadats kecil atau besar secara detail. Sedangkan bagi orang awam (orang yang tidak mampu mempelajarinya), hanya diharuskan mengetahui tata caranya saja, walaupun tidak secara detail. Dan yang terpenting adalah tidak menyakini rukun sebagai sunnah.

C.      Sebab-sebab Mandi
1.        Keluarnya Sperma
Yakni keluarnya sperma dari penis atau vagina, baik disertai dengan kenikmatan nyata maupun tidak nyata. Kewajiban ini berdasarkan hadist narasi Abu Sa’id:
 عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتْ الْمَاءَ فَقَالَ نَعَمْ فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأُلَّتْ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعِيهَا وَهَلْ يَكُونُ الشَّبَهُ إِلَّا مِنْ قِبَلِ ذَلِكِ إِذَا عَلَا مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْبَهَ أَعْمَامَهُ
Artinya :
“Aisyah bahwa seorang wanita berkata kepada Rasulullah SAW, "Apakah seorang wanita harus mandi apabila bermimpi dan melihat air mani?" Beliau menjawab, "Ya." Maka Aisyah berkata kepadanya, "Serius kamu akan bertanya?." Aisyah berkata, "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Biarkanlah dia (bertanya). Tidaklah kemiripan gen terjadi melainkan dari sisi tersebut. Apabila air mani wanita tersebut mengalahkan air mani suaminya maka anaknya mirip dengan garis keturunan ibunya. Dan apabila air mani suaminya mengalahkan air maninya maka anaknya mirip dengan garis keturunan bapaknya'." (HR. Muslim)[3]
Berikut dikemukakan beberapa kasus fiqih yang berkenaan dengan masalah keluarnya sperma :[4]
a.       Jika sperma keluar tanpa ada syahwat , tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka kondisi ini tidak mewajibkan mandi besar.
b.      Jika seseorang mimpi basah namun tidak menemukan bekas seperma pada pakaian atau tubuhnya, maka ia tidak diwajibkan mandi besar. Dalam hadist, "Ummu Sulaim mengunjungi Nabi SAW, dia berkata; 'Wahai Rasulullah! Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi bila dia bermimpi? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Ya, apabila dia melihat air (mani).'
c.       Apabila seorang bangun dari tidurnya, lalu ia mendapai cairan dipakaian, tetapi ia tidak ingat bahwa ia telah mimpi basah, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa cairan tersebut adalah sperma yang keluar disebabkan oleh mimpi.
d.      Jika seseorang merasakan memuncaknya syahwat dan sepermanya akan keluar, lalu ia memegang kemaluannya dengan kuat hingga sperma tidak kelua, maka ia tidak wajib mandi.[5]
e.       Jika seseorang melihat sperma pada pakaiannya, tetapi tidak mengetahui kapan keluarnya, padahal ia sudah shalat, maka ia wajib mengulangi semua shalatnya sejak waktu tidaknya yang terakhir.
2.        Persetubuhan
Maksundnya, memasukkan kepala kemluan laki-laki kedalam kemaluan wanita, meskipun tidak disertai dengan keluarnya sperma, sebagai dasar nya adalah firman Allah SWT :[6]
….. 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 ….  
Artinya :
“…. dan jika kamu junub Maka mandilah….” (al-Maidah : 6)
Imam syafi’I berkata,pada hakekatnya, arti junub dalam bahasa arab adalah bertemunya kelamin laki-laki dengan wanita, meskipun tanpa disertai dengan keluarnya sperma, lebih lanjut ia mengatakan setiap orang yang mendengar si Fulan dalam keadaan junub dengan si Fulanah, maka dapat dipahami bahwa mereka telah berbuat hubungan seks.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya hal itu (yakni tidak diwajibkan mandi karena tidak keluar mani ketika senggama) hanyalah suatu keringanan untuk orang-orang pada masa permulaan Islam, karena waktu itu pakaian masih kurang." Kemudian setelah itu beliau memerintahkan untuk mandi. Abu Dawud berkata; Yakni, air (mandi janabat) itu disebabkan karena keluarnya air (mani).
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا يَقُولُونَ إِذَا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Artinya :
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari Sa'id bin Musayyab bahwa Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Aisyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Apabila dua khitan saling bersentuhan maka wajib mandi."( HR. Bukhari dan Muslim)
3.        Berhentinya haid dan nifas
tRqè=t«ó¡o ur Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9Í tIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]ø9ym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä  tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtä ur úï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Al-Baqarah : 222)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ هَاشِمٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَتَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي اسْتَحَضْتُ فَقَالَ دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ حَيْضِكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَتَوَضَّئِي عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَإِنْ قَطَرَ عَلَى الْحَصِيرِ

Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim Telah menceritakan kepada kami Al-A'masy dari Habib dari Urwah dari Aisyah berkata; Fatimah binti Hubaisy mendatangi Nabi SAW seraya berkata; "Saya seorang wanita yang mustahadloh (wanita yang mengeluarkan darah lebih dari batas waktu haidl)." Maka beliau bersabda: "Tinggalkan shalat di hari-hari haidmu, kemudian mandi dan berwudhulah pada setiap kali shalat, mekipun darah tersebut masih menetes di atas tikar.” (HR. Bukhari Muslim)[7]
4.        Meninggal dunia
Para ulama sepakat  bahwa hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang hidup untuk memandikan mayat muslim yang tidak dilarang dimandikan misalnya mati syahid dijalan Allah.
Rasulullah SAW bersabda: "Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara serta dikafani dengan dua kain dalam keadaan kepala dan wajahnya keluar, karena sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengucapkan talbiyah." (HR. Bukhari Muslim)[8]
5.        Masuk islam
Jika orang kafir masuk islam maka ia wajib mandi, berdasarkan hadist :
Dari Tsumamah bin Utsal ia lalu berkata, "Bahwasanya kaum muslimin menangkap dan menahannya, maka setiap kali Rasulullah lewat di depannya beliau selalu bertanya: "Apa yang engkau punya wahai Tsumamah?" ia menjawab, "Jika engkau membunuh maka engkau membunuh yang memiliki darah, jika engkau memberi maka engkau memberi orang yang bisa bersyukur, dan jika engkau ingin harta maka engkau akan diberi." Abu Hurairah berkata, "Rasulullah jika lewat di depan Tsumamah beliau bertanya: "Apa yang engkau miliki ya Tsumamah?" ia berkata, "Jika engkau memberi maka engkau memberi orang yang bisa bersyukur, jika engkau membunuh maka engkau membunuh yang memiliki darah, dan dan jika engkau ingin harta maka engkau akan diberi." Abu Hurairah berkata, "Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat kebaikannya hingga beliau membebaskannya, dan Allah 'azza wajalla memberikan hidayah dalam hatinya. Abu Hurairah berkata, "Lalu mereka membawanya ke sumur orang-orang Anshar dan memandikannya, setelah itu ia masuk Islam (HR. Bukhari Muslim)[9]
D.      Tata cara Mandi
Mandi dikatakan cukup apabila mencakup hal-hal yang diwajibkan saja dan mandi dikatakan sempurna apabila mencakup hal-hal yang diwajibkan, disunnahkan dan mencakup hal-hal yang dianjurkan.[10]
1.        Rukun-rukun mandi
Mandi sebagaimana yang diinginkan syari’at tidak sempurna kecuali jika memenuhi 2 hal, yaitu :[11]
a.       Berniat
Niat merupakan pembeda antara ibadah dan tradisi, dan ia berkaitan dengan aktivitas hati.
b.      Membasuh seluruh anggota tubuh
….. 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 ….  
Artinya :
“…. dan jika kamu junub Maka bersucilah….” (al-Maidah : 6)
Yang dimaksud dengan  besuci pada ayat diatas adalah mandi, hal ini berdasarkan pada firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub,  terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. ….” (An-Nisa: 43)
2.        Sunnah-sunnah Mandi
Bagi orang yang akan mandi, hendaknya ia mengikuti cara yang dicontohkan oleh Rasulallah SAW pada saat beliau mandi, diataranya :[12]
a.       Membasuh kedua tangan sebanyak 3 kali.
b.      Membasuh kemaluan.
c.       Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat.
d.      Menyiramkan air kepada kepala tiga kali dengan menyela-nyela rambur agar air membasahi hingga ke pangkal rambut.
e.       Menyiramkan air keseluruh tubuh dengan mendahuluan bagian kanan.
Hal ini berdasarkan hadist :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah dia berkata, "Dahulu apabila Rasulullah SAW mandi hadas karena junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR. Bukhari Muslim)
Dan pada hadist lain, Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, Ummul Mukminin; bahwa apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi dari junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya. Berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat. Memasukkan jari-jarinya ke dalam air dan menyelah-nyelahinya ke pangkal rambut, lalu beliau menuangkan air di atas kepalanya tiga gayung dengan kedua tangannya, kemudian meratakan air ke seluruh kulitnya. (HR. Malik)
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Hisyam bin Urwah dari Bapaknya Dari Aisyah Radliyallahu'anha, apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi junub, maka beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu seperti untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air lalu membersihkan celah-celah pangkal rambutnya dengan jari-jarinya, lantas menyiramkan air ke kepalanya dengan cidukan tiga kali, kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. (HR. Nasa’i)[13]
E.       Beberapa perbuatan dalam Mandi
1.        Menggosok tangan ke seluruh jazad
Para ulama berbeda pendapat apakah menggosokkan tangan keluruh jasad termasuk termasuk syarat mandi, mayoritas ulama berpendapat bahwa menyiramkan air keseluruh tubuh sudah cukup, tapi seorang tokoh pengikut syafi’I,manyatakan bahwa penyiraman air belaka tidak cukup, bahkan jika seseorang mandi tanpa menggosokkan tangannya keseluruh tubuhmuya, mandinya belum dianggap sempurna. [14]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah dia berkata, "Dahulu apabila Rasulullah SAW mandi hadas karena junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadist ini adalah hadist yang kuat, yang menjelaskan tidak adanya kewajiban menggosok jasad dalam mandi. Sebab tidak mungkin Rasulallah SAW menjelaskan caramandi yang benar, padahal beliau sendiri tidak menggosok dan tidak memerintahkan menggosok.[15]
2.        Niat untuk mandi
Pada ulama berselisih pendapat apakah niat syarat mandi atau tidak, menurut malik, syafi’I, ahmad, daud, dan para pengikutnya niat termasuk syarat dalam mandi, sedangkan menurut Tsauri, Abu Hanifahm dan para pengikutnya niat bukan syarat mandi. Dan mandi sah tanpa niat.[16]
3.        Masalah berkumur dan menghirupkan air ke hidung
Para ulama berbeda pendapat tentang berkumur dan menghirup air kedalam hidung seperti perbedaan dalam wudu’.
4.         Segera dan Berturut
Pada ulama berbeda pendapat apakah segera dan tertib termasuk syarat mandi, sebab perbedaan berpangkal pada apakah perbuatan rasulallah dianggap wajib atau sunat, sebab hadist-hadist yang diketahui menjelaskan berwudu’ selalu tertub dan segera terus menerus.[17]
F.       Tata Mandi Bagi wanita
Pada dasarnya mandi wanita sama dengan mandi laki-laki. Bedanya wanita tidak diwajibkan melepaskan jalinan rambutnya jika ingin menyampaikan air kepangkal tumbuh rambut, berdasarkan hadist :[18]
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ayyub bin Musa dari Sa'id Al Maqburi dari Abdullah bin Rafi' dari Ummu Salamah ia berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang biasa mengencangkan tali ikatan rambut (kepang), jika aku mandi junub apakah aku harus melepasnya?" beliau menjawab: " Tidak, tapi cukup engkau tuangkan di atas kepalamu tiga tuangan air, setelah itu alirkan air ke seluruh tubuhmu maka engkau akan suci, atau beliau mengatakan: "engkau telah suci." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Banyak ahli ilmu yang mengamalkan hadits ini, mereka mengatakan jika seorang wanita mandi junub, dan tidak mengurai rambutnya maka hal itu telah cukup setelah mengalirkan air ke tubuhnya." (HR. Turmizi)[19]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mandi adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan cara tertentu dan disertai denga niat. Di dalamnya juga terdapat rukun-rukunnya, diantaranya niat dan meratakan air ke seluruh tubuh. Kita dituntut untuk mengetahui dan menerapkannya dalam kehidupan. Selain itu kita juga dapat mempelajari dan mengetahui sunah-sunah mandi maupun hal-hal yang mengharuskan mandi, diantaranya jinabah, keluar mani, terhentinya haid, wiladah, orang Kafir masuk Islam, dan memandikan jenazah. Dengan demikian kita dapat mengambil manfaat dari apa yang kita yang pelajari agar menambah keyakinan kita dalam beribadah dan senantiasa membiasakan hidup bersih, baik jasmani maupun rohani.
Dengan adanya pemahaman serta kesadaran dalam diri, kita juga harus memberikan pemahaman kepada yang lain untuk mengajak membiasakan hidup bersih, agar umat Islam selalu dalam ketentrraman, itu semua akan terwujud dan terlaksana apabila semua khalayak ikut serta dalam menciptakan hidup bersih dan indah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah,Jakarta: Amzah, 2013.
Abu Bakar Jabir A;-Jazai’ri, Pedoman Hidup Muslim, trj, Jakarta: Kencana, 1964.
Achmad sunarto, fiqih islam lengkap, Bandung : Husaini, 1995.
Ibnu Rusyd, Bidayatu Mujtahid, Jakarta : Amani, 2002.

                                                                                                                                         


[1] Achmad sunarto, fiqih islam lengkap, (bandung : husaini, 1995), hlm.47-48
[2] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta :Cakrawala, 2011)., hlm. 111.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah,(Jakarta: Amzah, 2013)., hlm. 80.
[4] Ibid., hlm. 80-81.
[5] Sayid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 114.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit.., hlm. 81.
[7] Sayid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 115-116.
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit.., hlm. 84.
[9] Ibid., hlm. 84.
[10] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit.., hlm. 93.
[11] Sayid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 116.
[12] Ibid., hlm. 127-128.
[13] Ibid., hlm. 128.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatu Mujtahid, (Jakarta : Amani, 2002)., hlm. 83.
[15] Ibid., hlm. 83-84.
[16] Ibid.,hlm. 84.
[17] Ibid., hlm.86.
[18] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit.., hlm. 95.
[19]Ibid., hlm. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar